Selasa, 07 September 2010

arti sebuah kasih

jam sudah menunjukan pukul 02.00 WIB, ku membuka pintu dengan perlahan, dengan keringat dingin aku pun melangkah masuk ke ruang tamu. Suasana sudah panas disana, mama marah sambil menangis, “Habiskan saja uang orang tuamu!! habiskan saja buat main sama teman temanmu!!”, “ya kan aku anak muda mah, wajar kalau suka main, dan zaman sekarang main ya pakai uang”. Bapak terdiam dengan muka kecewa dan lelah, “khan baru juga jam 2. ini biasa aja kali!!” ujarku mulai emosi, “jam2 biasa!?” mama membentakku dengan muka yang seram. “Tai!!” bentakku, “mama waktu kecil yang bersihin tai kamu, sekarang kamu bilang mama tai!?”.

setelah kata kotor itu kuucap, ku bergegas pergi meninggalkan rumah, dengan penuh keyakinan ku pergi, hanya membawa beberapa belanjaan dan sisa uang Rp. 50.000,- di dompet. Ku berjalan menuju terminal Cicaheum, aku pun mencari angkot, apapun trayeknya, kuputuskan naik angkot Cicaheum - Kalapa, ku duduk tepat di belakang supir, supir berwatak preman dan berteriak teriak memanggil penumpang, dengan membawa anak yang duduk disampingnya, anaknya masih kecil, sekitar kelas 4SD, aku tahu dari percakapan mereka.

“gilang kenapa ikut papa? ini kan sudah malam?”, ucap si supir dengan nada penuh kasih, sambil dengan lembut mengusap rambut gilang. “kalo di rumah sama mama gilang dimarahin terus pa.”

“makanya gilang sekarang kalau makan ya makan sendiri, sudah kelas 4 SD, papa dulu sebesar kamu jangankan makan sendiri, cuci baju saja sudah sendiri”, ujar pa supir, gilang hanya berguling guling di kursi dan bersenandung lagu cinta yang sedang hit di Televisi, “kalau gini terus kapan gilang mandirinya? tutup sana jendelanya.” ujar sang supir dengan nada lembut. Aku senang melihat percakapan anak-bapa ini, orang orang di terminal memang tak seperti apa yang diktakan orang banyak, keras, tak ada sopan santun, tak ada kasih sayang. aku melihat ada kasih sayang di depan mataku.

mendengar percakapan itu sebenarnya aku ingat tragedi barusan dengan mama, tapi tak apa, sendiri untuk sakian jam bisa menjadi obat penenang, aku kapok menjadikan alcohol sebagai penenang di setiap masalah, aku telah divonis lever, itu pula yang membuat mama dan papa sekarang takut bila aku main bersama teman teman. tapi sekali lagi, aku tenang melihat pasangan anak-papa ini, melebihi ketenangan yang disajikan alcohol.

angkot pun berhenti nge-tem dan segera berangkat, tak kusadari angkot sudah hampir penuh dengan penumpang. biasanya bila sempit aku mengeluh, kini tidak, hatiku sedang nyaman. sepanjang perjalanan pasangan papa-anak itu terus berbincang, mereka seperti teman, sangat cair, tak seperti keadaanku di rumah. aku berantakkan, diantara kakakku dan adikku, aku paling dibenci, aku paling dikekang, aku berpikir bila ada orang yang berkata itu tanda kasih sayang, bullshit! kasih sayang ialah seperti yang ditunjukkan seorang supir ini. aku terus berfikir dan membuat faham sendiri di dalam hati.

setelah lumayan jauh berjalan, angkot pun mendadak berhenti, ada seorang penumpang yang turun, dia memberikan uang pecahan Rp. 50.000,-. karena gelap pak supir pun sulit mencari uang kembalian, dengan sigap gilang pun membantu mencarikan uang kembalian. gilang selalu bersemangat dalam membantu ayahnya. mengapa aku tak pernah iklas membantu orang tuaku?

waktu sudah menunjukkan jam 3.30, sudah mulai ada mobil yang lalu lalang, aku pun turun di sebelum perempatan siliwangi.”BRAAAAKKKK!!!!” tak kusangka kejadian menyeramkan terjadi depan mataku, angkot yang tadi kutumpangi ditabrak mobil jeep dari arah kiri, tepat di tempat gilang duduk. mobil memang tidak sampai terguling, namun ini kecelakaan yang cukup parah, perasaan yang pertama kali ku rasakan ialah “bagaimana rasanya menjadi pak supir”. aku takkan perdulikan luka pada tubuhku bila aku jadi pak supir, pasti semua rasa sakit terhalang rasa khawatir pada gilang.

dan benar apa yang ku pikir, dengan badan berlumur darah, pak supir berteriak teriak histeris mencari gilang, padahal darah yang keluar sangat banyak, namun dari jauh tak terlihat ada rasa sakit yang dirasakan pak supir, akhirnya pak supir menemukan gilang, tepatnya.. jasad gilang..

sampai akhir pertemuanku di Rumah Sakit dengan pak supir, aku tak mendengar ia mengeluh tentang lukanya. aku tahu luka kehilangan gilang jauh lebih dalam.

kini ku mengerti sedalam apa rasa sayang orang tua..

kini ku mengerti mengapa hal kecil yang kita perbuat bisa menjadi besar di mata orang tua..

kini ku mengerti

arti sebuah kasih

cerpen pertama yang dibuat saya. terlahir dari pergolakkan batin.

4 komentar:

justkya :) mengatakan...

sediiih :'(

bajey mengatakan...

hmm. thx :)

Revinda mengatakan...

ini kayak beneraaan :(

bajey mengatakan...

makasih revi.. hehehe.. emang beneran tau.. hehehe boong deng..

Posting Komentar